I Gusti Nyoman Lempad
Tidak susah mencari kediaman pelukis I Gusti Nyoman Lempad. Anda hanya berjalan sepanjang 500 m kearah Timur Puri Ubud dan akan melihat papan tandanya. Siapapun yang anda tanya, pastilah tahu di mana rumahnya. Lempad telah menjadi bagian dari seni lukis Bali. Ia adalah sumber inspirasi yang tidak pernah kering untuk generasi seni berikut. Sejarah dan pengembangan seni lukis Bali tidak bisa dipisahkan darinya.
Tidak diketahui dengan pasti kapan ia dilahirkan, tetapi banyak sumber mengatakan anak ketiga dari empat bersaudara ini dilahirkan tahun 1862, dan telah menikah ketika gunung Krakatau meletus ditahun 1883. Menghembuskan nafas terakhirnya pada 25 April 1978, diusia 116 tahun.
Lempad tidak bisa membaca, karena ia tidak berekolah secara formal, namun ia bisa menulis namanya di atas lukisannya dengan hanya mencontoh. Walaupun bapaknya adalah seorang pengukir, namun ia tidak memiliki ketrampilan ayahnya. Tetapi dari seorang Brahmin yang hidup di Puri Lempad mendapatkan kemampuannnya. Brahmin ini menguasai berbagai bidang, seperti ; perancang bangunan, pemahat, pelukis dan ahli dalam peraturan adat. Darinya Lempad belajar segalanya tentang tarian, agama dan masyarakat.
Ketika berusia 40 tahun, ia membantu Walter Spies membangun rumahnya di Campuhan, Ubud. Suatu ketika, Spies melihat coretan lukisan Lempad diatas secarik kertas, ia lalu mengagumi dan membayarnya dengan kemeja, kain dll. Ia lalu menasehati Lempad untuk terus melukis apapun yang ada dikepalanya dan tetap fokus pada gaya melukisnya Menurut Lempad, bertemu dengan Spies adalah suatu karunia, sebab ia telah diajari teknik melukis
Lempad akhirnya berkonsentrasi pada lukisan wayang, dengan mengambil tema Ramayana dan Mahabharata. Gayanya yang mengesankan mudah untuk ingat, seperti memahat gaya Tjokot. Ia selalu menggunakan cat hitam di atas kertas putih yang menghasilkan bentuk yang bagus, gaib dan kuat dan nampak tak terputuskan. Banyak orang yang ridak mengetahui apa yang ada dalam pikiran Lempad ketika ia menorehkan kuas diatas kertas.
Sepanjang hidupnya Lempad tidak pernah jauh dari kayu, kertas, pensil atau tinta Cina. Salah satu aspek yang menarik dari pekerjaannya adalah ketidak-sempurnaan. Ia menyenangi semua dari pekerjaannya yang belum selesai, karena dari sana ia dapat menyempurnakan menurut inspirasinya. Meskipun Alat yang digunakannya untuk melukis sangat sederhana. Tetapi dari sanalah kita dapat melihat kekuatan garis dan ketelitian. Ia jarang menonjolkan warna, kecuali untuk memperkenalkan aksen atau untuk memperkuat corak tertentu. Ia bekerja menurut tema Jayaprana dan Dukuh Suladri, sebagai contoh. |
I Nyoman Gunarsa
Dia adalah salah seorang seniman yang ternama yang berasal dari Bali. Karya Lukisannya di dasari oleh cerita rakyat Bali, dan legenda Hindu Dharma. Hal tersebut yang membuat gaya melukisnya berbeda dari yang lain. Karya-karyanya berdasarkan eksplorasinya dari kesenian Bali, seperti tarian tradisional, musik tradisional, upacara keagaman, dan keanekaragaman lingkungan yang mempengaruhi banyak seniman yang berasal dari Bali dan Indonesia. Kesuksesan yang diraihnya tidak didapat dengan mudah, ia meraihnya dengan penuh perjuangan. Alumnus dari ASRI Yogyakarta ini memulai karirnya sebagai tenaga pengajar di institut yang membesarkannya.
Karya Seni Lukisnya
Hendra Gunawan
Hendra Gunawan adalah seorang pelukis dan pematung. Dia dilahirkan di Bandung, 11 Juni 1918 dan meninggal di Bali, 17 Juli 1983. Semasa hidupnya, Hendra sempat belajar melukis pada Wahdi, seorang pelukis pemandangan. Dari Wahdi, ia banyak menggali pengetahuan tentang melukis. Kegiatannya bukan hanya melukis semata, tetapi pada waktu senggang ia menceburkan diri pada kelompok sandiwara Sunda sebagai pelukis dekor. Dari pengalaman itulah, ia mengasah kemampuannya.
Pertemuannya dengan Affandi merupakan fase dan sumber inspirasi jalan hidupnya untuk menjadi seorang pelukis. Dengan didasari niat yang tulus dan besar, ia memberanikan diri melangkah maju. Bermodalkan pensil, kertas, kanvas dan cat ia mulai berkarya. Komunitas dari pergaulannya ikut mendukung dan terus mendorongnya untuk berkembang. Keberaniannya terlihat ketika ia membentuk Sanggar Pusaka Sunda pada tahun 1940-an bersama pelukis Bandung dan pernah beberapa kali mengadakan pameran bersama.
Karya Lukisnya
Revolusipun pecah, Hendra ikut berjuang. Baginya antara melukis dan berjuang sama pentingnya. Pengalamannya di front perjuangan banyak memberi inspirasi baginya. Dari sinilah lahir karya-karya lukisan Hendra yang revolusioner. Lukisan “Pengantin Revolusi”, disebut-sebut sebagai karya empu dengan ukuran kanvas yang besar, tematik yang menarik dan warna yang menggugah semangat juang. Nuansa kerakyatan menjadi fokus dalam pemaparan lukisannya.
Pada tahun 1947, ia mendirikan sanggar Pelukis Rakyat bersama temannya, Affandi. Dari sanggar ini banyak melahirkan pelukis yang cukup diperhitungkan seperti Fajar Sidik dan G. Sidharta. Selain melukis, mematung juga merupakan bagian dari kesehariannya. Hasilnya, patung batu Jenderal Sudirman di halaman gedung DPRD Yogyakarta.
Keberpihakannya pada rakyat membuatnya harus mendekam di penjara selama 13 tahun antara tahun 1965-1978, karena ia tercatat sebagai salah seorang tokoh Lekra. Ketika dipenjara, ia masih terus melukis dengan warna-warna yang natural dengan menggunakan kanvas berukuran besar. Semua itu diperolehnya dari begitu seringnya ia belajar dari ikan, baik warnanya maupun karakter ikan yang tidak mengenal diam.
Pelukis yang dekat dengan penyair Chairil Anwar memilih Bali sebagai pelabuhan hati yang teduh, tenang dan ayem. Selain bergaul dengan para pelukis, ia juga bergaul dengan penyair sekaliber Umbu Landu Paranggi, penyair kelahiran Sumba yang menetap di Bali. Umbu sangat menghargai Hendra karena selain catatannya kerjanya didunia seni lukis sebagai maestro ternyata Hendra pun menulis puisi.
Anak Agung Gede Sobrat
adalah salah satu tokoh pelukis gaya pita maha yang lahir di Padangtegal, Ubud, (1911-1992 ). Beliau dilahirkan dari pasangan Anak Agung Putu Yasa dengan Jero Gambir. Ayahnya dikenal masyarakat Ubud sebagai penari gambuh tersohor di desanya.Bakat seninya menurun dari garis ibu dan dari garis ayah.
Dari garis ibu menurun dari dari kakeknya yang bernama I Seleseh, adalah seorang undagi tersohor di desanya.
Karya Lukisnya
Mulai belajar melukis bersama saudaranya A.A. Gede Meregeg pada pelukis asing, yang bernama W. Spies, setahun kemudian dilanjutkan belajar pada R. Bonnet.
Sobrat sebagai pelopor gerakan pembaharuan seni lukis di Ubud, bersama-samaW. Spies. R. Bonnet dan Cokorde Agung Sukawati mendirikan organisasi Pita Maha di Ubud.
Tahun 1957-1959, mengajar di Akademi Seni Rupa Indonesia Yogyakarta.khusus mengenai seni lukis Bali. Tahun 1958, mengadakan pameran di Yogyakarta atas sponsor Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Tahun 1963, mengadakan pameran di Jakarta, tahun 1970 mengadakan pameran di Surabaya dengan sponsor Lembaga Indonesia Amerika.
Banyak lukisan yang dikoleksi orang asing, dikoleksi Museum Puri Lukisan RatnaWarta,Museum Neka, Museum Arma, Taman Budaya Denpasar, Museum Sono Budoyo Yogyakarta.
Tahun 1971, pameran di Jakarta atas sponsor dari Goethe Institute. Mendapat penghargaan Wijaya Kusuma dari Pemerintah Gianyar dan Dharma Kusuma, dari Propinsi Bali.
I Gusti Ketut Kobot
adalah salah satu daftar pelukis gaya pita maha Bali, beliau lahir di Br. Pengosekan Mas. Ubud, ( 1917-), awal sejarahnya beliau diceritakan melukis sejak umur 15 tahun, pertama menggambar wayang kulit untuk pertunjukan wayang dan tahun 1936 masuk anggota Pita Maha.
Karya Lukisnya
- Tahun 1940, I Gusti Ketut Kobot sebagai tenaga pengajar melukis di desa Peliatan, stap pengajar dari Pita Maha atas pilihan R.Bonnet, karena dianggap telah mampu mengajar seni lukis.
- Tahun 1950, masuk dalam Golongan Pelukis Ubud. Tahun 1977, mendapat penghargaanWijaya Kusuma dari Pemerintah Gianyar, tahun 1981 penghargaan Dharma Kusuma dari Pemerintah Propinsi Bali.
Dalam organisasi Pita Maha, Kobot sebagai ketua ( kelian ) wilayah Pengosekan.
Salah satu karya lukisannya yang berjudul Ramayana yang dibuat kanvas dan cat tempra pada tahun 1953, yang dalam lukisan tersebut diceritakan peperangan antara raja Alengka Putra Rahwana dengan Jatayu ketika memperebutkan Dewi Sita yang dalam lukisan tersebut terlihat wilmana terhempas dari cengkeraman burung Jatayu yang gagah perkasa.
Semoga bermanfaat